Senin, 23 November 2015

Pergimu Itu Matiku (Zarry Hendrik)

Berat mengubah sikap
Sebab demi Tuhan, rasa ini masih sama
Memandang wajahmu aku tak sudi
Oh jangan sampai di hadapanmu aku meneteskan air mata
Mengertilah,
Aku lelaki/wanita yang benci menangis
Mengertilah,
Telah semampunya aku tak ingin melihatmu lagi
Sementara waktu telah menyeretku jauh dari ragamu
Aku masih saja benci menjadi aku
Aku berharap kembali di detik-detik itu
Dipelukanmu,
Betapa pesta yang sia-sia , ria yang percuma
Pada tiap esok yang ku punya, hanya akan ada satu tanya
Kau dimana?
Sesungguhnya aku ingin sekali lagi berkata 'YA'
Namun, tiada pintamu datang kepadaku
Mungkin aku hanya terlalu sering berpikir,
Tentang suatu hari,
Yang tidak akan pernah datang
Tidak seharusnya kita menyesaatkan ini semua
Aku masih menyesali itu
Ada rasa rindu kepada aku yang dulu
Aku yang tak kenal kau
Sebab dari kehilanganmu,
Aku menemukan persamaan
Antara udara dan bebutiran
Aku telah hancur,
Tubuhku mengurus,
Jiwaku mengurasku
Telah kujadikan kakiku selingan kapas
Supaya aku,
Tak dapat lagi memahami langkahku
Tetapi aku tidak dapat menyelamatkan dunia
Sekarang bantulah semua orang,
Supaya membenciku
Kau tidak sendiri
Aku telah menjadi orang lain
Aku yang dulu
Yang kau cintai itu sudah tiada
Jurang telah memanggil seluruh aku
Yang tanpa kau

Sabtu, 07 November 2015

Mencari Secercah Harapan dari Do’a Ibu


Fajar telah terbit dari ufuk timur, matahari siap untuk menyinari Buminya. Sinar sang fajar mulai memasuki jendela kamar gadis yang sedang beranjak dewasa ini. Sosok gadis yang begitu sederhana, selalu ada keceriaan dihari-harinya, dan senyuman yang selalu  menghiasi bibirnya. Gadis ini bernama Melati. Ibu Melati hanya seorang supir bus transjakarta. Sejak umur 10 tahun Melati hanya tinggal bersama ibunya. Ibu dan ayahnya sudah berpisah, karena ayahnya yang pergi entah kemana, dan meninggalkan Melati dengan ibunya begitu saja tanpa pernah kembali.

Pagi ini seperti biasa Melati harus berangkat ke sekolahnya. Dia adalah siswi disebuah sekolah kejuruan di Jakarta. Melati bisa bersekolah karena Melati mendapatkan beasiswa. Melati adalah siswi yang berprestasi, nilainya selalu memuaskan. Karena tujuan dalam hidupnya adalah menjadi orang yang sukses dan bisa mengangkat derajat ibunya. Ibu yang selalu menjaganya sejak dia masih kecil. Ibu yang akan selalu dia cintai sampai kapanpun.

“Melati anak ku mau berangkat ke sekolah sekarang? Mau ikut sama ibu tidak?” Suara yang begitu lembut keluar dari mulut sang ibu, dengan pakaian kerja dan handuk kecil dilehernya.

“ga usah bu, biar Melati naik angkot saja..” jawab Melati.

“ya sudah ibu berangkat dulu ya, hati-hati dijalan, belajar yang bener, nanti kalau berangkat jangan lupa kunci pintu rumah.” Ucap ibu Melati.

“iya bu..” jawab Melati.

***

            Kaki Melati mulai melangkah keluar rumah dengan tekad untuk sekolah. Sampailah Melati di ujung sebuah gang dimana tempat yang selalu dia datangi setiap pagi untuk menunggu angkot yang datang.

“Melati!!!” seseorang menyapanya.

“eh Rangga, ada apa Ga?” jawab Melati sambil menoleh ke arah Rangga. Rangga adalah sahabatnya. Rangga selalu menemani hari-hari Melati. Rangga selalu ada saat Melati membutuhkannya. Entah apakah Rangga mempunyai perasaan kepada Melati atau tidak.

“bareng aku aja yu, sekalian nih mumpung lagi bawa motor.” Ajak Rangga.

“eh engga usah deh aku naik angkot aja.” Jawab Melati.

“udah lah ayo cepet naik motor aku, daripada kamu nunggu angkot lama? Bisa-bisa telat masuk sekolah.” Paksa Rangga.

“yaudah deh.” Akhirnya Melati mengiyakan ajakan Rangga. Rangga dan Melati pun akhirnya berangkat ke sekolah bersama. Mereka berpisah diparkiran.

***

            Bel masuk berbunyi. Siswa dn siswi mulai memasuki kelasnya masing-masing. Suasana diluar sekolah menjadi hening. Guru mulai masuk ke kelas yang akan diajarnya.

            Seorang guru pun masuk ke dalam kelas Melati. Namanya Bu Dewi. Bu Dewi adalah guru yang mengajar pelajaran matematika. Bu Dewi meminta mereka membuka buku matematikan dan membahas soal yang beliau berikan kemarin. Semua siswa pun mengeluarkan bukunya masing-masing dan mulai membahas soal-soalnya. Bu Dewi meminta Melati untuk menjawab soal nomor satu di depan, karena Melati memang sudah terkenal dengan kepintarannya. Bahakan hampir semua guru sudah mengenalnya.

“Melati sudah ibu duga pasti kamu selalu bisa dengan mudah mengerjakan soal-soal yang ibu berikan dengan tepat.” Puji Bu Dewi.

“makasih bu..” jawab Melati dengan seyumannya yang khas..

Bel tanda pelajaran telah usai berbunyi. Ibu Dewi memanggil Melati.

“oiya minggu depan sekolah kita akan mengirimkan siswa atau siswi untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat nasional, ibu yakin kamu bisa, apa kamu siap?”

Seketika Melati ingat dengan tekadnya untuk membuat ibunya bangga kepadanya. Melati berfikir inilah waktunya untuk dia membuat ibunya bahagia dengan prestasi yang dia raih. Dan dia bisa mengangkat derajat ibunya mulai dari sekarang.

“Melati bagaimana?” Tanya Bu Dewi kembali.

“Eh iya bu, Insyaallah saya siap bu..” jawab Melati dengan yakin.

***

            Tubuh Melati terhampas dikasurnya. Tiba-tiba surara ketukan pintu terdengar ditelinga Melati. Dengan cepat Melati menuju pintu dan membukakannya. Dibalik pintu terlihat seorang wanita dengan wajah yang sangat letih karena harus mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. Melati langsung mencium tangannya dengan rasa kasih sayang. Melati tidak tega melihat ibunya yang sudah lanjut usia ini harus mencari uang setiap hari untuknya. Harus mengendarai bus yang sebesar bus trasnjakarta dan menanggung resiko yang sangat besar.

“ibu keliatannya cape sekali, Melati buatkan teh hangat ya untuk ibu?” ucap Melati.

“iya boleh, ini makanan untuk sampai malam ya nak..” ibu Melati memberikan makanan yang terbungkus plastik.

“iya bu..” jawab Melati.

            Melati pun menuju dapur. Dengan sangat cekatan Melati membuatkan teh untuk sang ibu.

“ini bu..” Melati menaruh gelas yang berisi teh hangat itu dimeja degan perlahan.

“makasih nak..” ucap ibu Melati.

“oiya bu, minggu depan aku akan olimpiade matematika, doakan aku ya bu..” ucap Melati.

“ibu selalu mendoakanmu sayang, ibu akan selalu support kamu, kamu belajar yang giat yaa dan berdoa sama Allah..”

“iya bu Melati akan belajar dengan giat..”

***

            Keesokan harinya, seperti biasa sinar pagi sang fajar memasuki jendela kamar Melati. Mata Melati perlahan terbuka dan ia berbegas menuju kamar mandi. Hari ini Melati harus bangun pagi karena ada bimbingan lebih awal untuk olimpiade matematikanya minggu depan. Di ruang makan sudah terlihat sang ibu yang sedang menyiapkan sarapan pagi untuk anaknya.

“ayo nak, makan dulu, biar bisa konsntrasi nanti belajarnya.” Ajak sang ibu.

“aku makan di kantin sekolah aja bu, Melati sudah kesiangan, nanti telat sampai sekolah..” jawab Melati.

“atau kamu bawa bekal makanan saja ya? Ibu siapkan, Melati pakai sepatu saja dulu.”

“iya bu, makasih ya bu..”

            Melati mulai memakai sepasang sapatunya. Sepatu telah terpasang di kedua kakinya, Melati menghampiri ibunya kembali.

“bu makanannya sudah siap? Melati harus berangkat ke sekolah sekarang.” Ucap Melati terburu-buru.

“iya nak, ini makanannya.” Ibunya memberikan sebuah bekal makanan yang terbungkus dengan rapih.

            Melati mengambil makanan itu dari sang ibu, kemudian ia mencium tangan ibunya dengan lembut.

            Kedua kakinya melangkah dengan penuh semaangat, menyelusuri gang yang biasa ia lewati. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok pria yang sedang berjalan dijung gang.

“loh ayah? Itu bukannya ayah?” ucap Melati tak yakin.

            Kaki Melati sontak berlari menghampiri sosok pria tersebut.

“Ayah!!” teriak Melati dari kejauhan.

            Dengan nafas tersengal-sengal Melati memanggil sosok pria tersebut dan tetap mengajarnya.

“Ayah!!” Lagi-lagi Melati memanggil sosok pria tersebut.

            Sosok itu akhirnya menoleh ke arah Melati. Kini kaki Melati telah terhenti dari larinya. Melati begitu terkejut ketika melihat sosok tersebut ternyata memang ayahnya yang dulu pergi begitu saja meninggalkan dirinya dan sang ibu.

“Ayah! Ayah kenapa pergi?!” tubuhnya sontak memeluk sang ayah dan air matanya pun mulai menetes. Kini kerinduan yang dia rasakan selama 6 tahun ini telah terbalaskan. Sekarang dia bisa memeluk ayahnya dengan erat. Berharap ayahnya tidak akan pergi meninggalkannya lagi.

            Sang ayah hanya bisa terdiam.

“ayah jawab?! Selama ini kemana aja? Kenapa ayah pergi? Melati kangen sama ayah!” ucap Melati yang tak sabar mendengar jawaban dari ayahnya.

“maafkan ayah Melati, ayah harus pergi meninggalkan kamu karena ayah sudah tidak pantas menjadi ayah kamu.”

“apa ayah sudah menikah lagi dengan perempuan lain?”

“iya ayah sudah menikah dengan perempuan lain, karena ayah berhutang budi padanya.”

“kenapa? Apa dia lebih kaya dari ibu sebab itu ayah meninggalkan kita?”

“bukan karena itu Melati, ayah sangat berhutang budi padanya, dan dia ingin ayah menjadi suaminya, dan dia mengancam ayah.”

“mengancam seperti yah? Sampai-sampai ayah tega ninggalin kita berdua?!”

“ayah diancam, kalau ayah tidak mau nikah dengan dia, dia akan ganggu kehidupan kamu dan ibu kamu Melati, diaa akan mengusik kehidupan kamu, ayah ga bisa ngeliat hidup kamu dan ibu kamu di usik oleh perempuan ini.”

“tapi ayah kenapa ga ngejelasin dari awal?! Kenapa ayah main pergi gitu aja?”

“ayah terpaksa Melati, ayah sekarang harus pergi, ayah harus kerja.”

“tapi yah, Melati masih kangen sama ayah, melati mau jalan bareng sama ayah kaya dulu, Melati mau kita sama-sama lagi kaya dulu.”

“tapi ayah ga bisa Melati, ayah harus pergi, dan ayah mohon jangan bilang ke ibu kamu kalau kamu ketemu sama ayah.”

“loh kenapa yah?”

“ayah ga mau ibu kamu sedih.”

“tapi ayah udah bikin ibu sedih sejak ayah pergi dari rumah.”

“tapi setidaknya kini hidup ibu kamu sudah lebih tenang.”

“baiklah yah, tapi kita bisa ketemu lagi kan? Ini bukan pertemuan terakhir kita kan?”

“sepertinya ini pertemuan terakhir kita Melati, ayah harus pindah keluar negeri karena ayah dipindah kerja keluar negeri oleh kantor ayah.”

“tapi yah?!”

“ayah kasih kamu gelang ini, jaga gelng ini baik-baik, jangan sampai hilang, ayah harus pergi sekarang.” Sang ayah pun melangkahkan kakinya. Perlahan sosoknya semakin jauh dan kemudian menghilang dari pandangan Melati.

            Kini Melati hanya memandangi gelang pemberian sang ayah. Dia langsung memakainya dipergelangan tangannya. Air matanya turun begitu deras di pipinya.

            Tiba-tiba hujan turun begitu saja. Air hujan dengan cepat mengguyur tubuh Melati. Kini baju dan tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan. Melati terdiam sejenak, kemudian melanjutkan perjalanannya, tetapi Melati tidak melanjutkannya ke sekolah, dia berfikir lebih baik dia kembali ke rumahnya saja, karena perasaannya masih tidak karuan.

            Dengan langkah yang gontai akhirnya Melati sampai di depan rumahnya. Melati peralahan membuka pintu dan menuju kamar untuk mengganti pakaian yang sudah basah kuyup teresebut. Kemudian Melati menghempaskan tubuhnya ke kasur.

***

Hari demi hari telah dilalui Melati dengan belajar dan belajar. Karena olimpiade ini adalah awal untuk mencapai kesuksesannya, dan dia bisa membuat ibunya bangga. Hari olimpiade itu pun akhirnya datang. Jantung Melati berdegup dengan kencang, Melati takut mengecewakan ibunya karena kekalahan yang ia dapat. Tapi Melati harus yakin bahwa dia bisa untuk meraih kemenangan yang ia inginkan. Semua teman dekatnya selalu mendukung Melati, mereka selalu menyemangati Melati, terutama sahabatnya yaitu Rangga.

“ayo Mel! Pasti kamu bisa kok!! SEMANGAT!!” teriak Rangga dari kajauhan.

            Soal olimpiade matemtika mulai dibagikan. Soal itu sudah ada di meja Melati. Melati mulai membaca dan mengerjakannya dengan sangat teliti. Detik demi detik,  menit demi menit, dan waktu demi waktu terlewati, Melati sudah selesai mengerjakan soal olimpiadenya tepat saat bel berbunyi.

            Ini waktu dimana saatnya menunggu hasil siapakah yang mendapatkan juara 1, 2, dan 3. Jatung Melati mulai berdegup dengan cepat, keringat dingin ikut mengalir dari dahinya. Juri pun mengumumkan siapa yang menjadi juara 1, 2, dan 3.

“yang jadi juara 3 adalah… Muhammad Akbar Permana dari sekolah SMA 1 Bandung, juara 2 nya adalah… Putri Maharani dari SMA 6 Semarang, dan juara 1 nya adalah…”

            Deeg, jatungnya mulai berdegup dengan kencang kembali. Kini Melati mulai pesimis.

“dan juara 1 nya adalah Melati Kusuma Dewi dari SMK 1 Jakarta..”

            Senyuman bangga hadir dari bibirnya, air mata kebahagiaan mulai mengalir dipipinya. Melati maju kedepan dan menerima piala serta uang tunai senilai Rp. 10.000.000,00.

“tuh kan aku yakin kamu pasti bisa Mel! SELAMAT!!” ucap Rangga sambil menguluran tangan kepada Melati, dengan ramah Melati menyambut uluran tangan tersebut.

***

            Melati pulang dengan membawa tropi dan uang yang begitu banyak, itu semua untuk ibunya. Melati berlari melewati gang rumahnya dengan semangat. Sampai di depan rumah, Melati begitu terkejut, mengapa banyak orang yang datang?

“ini ada apa?!” ucap Melati. Perasaan Melati mulai tidak karuan. Hanya tanda tanya yang kini ada dibenaknya.

“ibu kamu mengalami kecelakaan Melati..” salah seorang warga menjelaskan kejadian yang di alami oleh ibu Melati.

“APA?!” ga mungkin bu ga mungkin!!” air matanya mulai turun dengan deras. Tropi dan amplop yang berisikan uang itu terjatuh begitu saja.

            Melati mulai memasuki rumahnya. Di sana Melati melihat sosok ibunya sudah terbalut kain putih, dan mukanya tertup oleh kain penutup. Melati perlahan mendekati tubuh ibunya yang sudah kaku itu. Melati memeluk ibunya dengan erat.

“ibu!! Ibu kenapa pergi ninggalin melati! Melati juara 1 olimpiade loh bu!! Kenapa ibu malah pergi? Kalau ibu pergi melati sama siapa? Ga ada yang support dan menasehati melati lagi bu!! Bu bangun! Bangun bu!”

            Seketika Melati terngiang dengan kata-kata ibunya yang ingin mengantarnya sampai sekolah, dan ternyata itu adalah permintaan terakhir dari ibunya.

“ibu Melati menyesal telah menolak ajakan ibu untuk mengantarkan Melati ke sekolah waktu itu. Andai saja melati tau itu adalah ajakan terakhir dari ibu. Ibu Melati mohon bangun!” Melati memeluk erat tubuh ibunya yang kaku itu.

            Melati sadar hal itu percuma, sampai kapanpun ibunya tidak akan lagi terbangun dari tidur panjangnya. Seketika Melati teringat dengan ayahnya yang waktu itu ditemui olehnya. Dia memandangi gelang yang diberi oleh ayahnya. Kini tangisannya sudah tidak terkontrol.

“ayah, apa ayah ga bisa kesini? Tinggal sama aku, aku ga bisa hidup sendiri yah, ibu udah pergi ninggalin aku, sekarang aku benar-benar sendiri.”

            Sejak kejadian itu Melati harus bekerja keras untuk melanjutkan hidupnya, Melati tetap meneruskan sekolahnya dan tetap dengan tekadnya. Walau ibunya sudah tiada, bukan berarti Melati bisa melupakan tekadnya itu. Melati tetap menorehkan perestasi di sekolahnya. Sampai dia sukses nanti.

Jumat, 06 November 2015

Andai aku bisa

terlalu cepat kau pergi meninggalkan aku
saat diriku terlalu mencintaimu
terlalu banyak cerita yang kau tinggalkan
saat ku dekat, saat bahagia denganmu oh
andai aku bisa memutar waktu, andai aku bisa
takkan ku siakan waktu-waktu bahagia denganmu
andai aku mampu hentikan waktu, andai aku bisa
aku akan selalu ada untukmu, bersamamu
terlalu perih ku rasa saat kau pergi
sedih mendalam jiwaku kehilanganmu
terlalu singkat ku rasa engkau di sini
aku hanya bisa menangis tak sanggup lagi
andai aku bisa memutar waktu, andai aku bisa
takkan ku siakan waktu-waktu bahagia denganmu
andai aku mampu hentikan waktu, andai aku bisa
aku akan selalu ada untukmu, bersamamu
semoga engkau tenang, semoga engkau bahagia
semoga engkau tenang di sana, di sana
andai aku bisa memutar waktu, andai aku bisa
takkan ku siakan waktu-waktu bahagia denganmu
andai aku mampu hentikan waktu, andai aku bisa
aku akan selalu ada untukmu, bersamamu

Kamis, 05 November 2015

Kepergianku (Dwitasari)

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, cepat atau lambat, pepatah ini akan terjadi pada saiapaun, termasuk aku. Iya, tentu ada air mata. Tentu saja ada semilir duka. Tapi aku percaya semua ini akan terlewati. Dan kembali baik-baik saja.

Aku juga manusia biasa, punya rasa rindu yag menggebu. Aku rindu menjadi diriku sendiri. Aku yang utuh, aku yang ku kenali, aku yang ku inginkan. Memang semua tak lagi sama. Tapi percayalah, ini yang terbaik. Jangan ada benci apalagi caci. Kita telah dewasa. Bukankah dewasa berarti siap melepaskan juga merelakan.

Kita masih bisa bertemu dalam nyata atau dalam doa. Kita masih bisa saling membahagiakan. Dalam peluk, dalam tawa, semanis dulu. Ini bukan kepergian. Kita hanya sama-sama ingin meraih tujuan. Tolong, tolong jangan anggap ini perpisahan, hanya raga kita yang terpisah tapi hati ini masih saling bertautan, tubuhku memang tak lagi di dekat kalian. Tapi izinkan aku meyelamatkan hati, agar perbedaan ini tak jadi boomerang untuk saling menyakiti. Aku pergi karena aku ingin menjadi yang ku ingini.

Mungkin Hanya Aku (Dwitasari)

Mungkin saat ini aku pilih diam, tanpa harus peduli lagi. Ku lelah dengan sikapmu seperti ini yang selalu anggapku boneka. Yang bisa kau permainkan, sesuka hatimu, dan kau pun pergi tinggalkanku begitu saja.

Coba fikir mungkin hanya aku yang selalu ada disampingmu, didekatmu diasaat kau terjatuh Coba fikir mungkin cuma aku yang selalu ada menunggumu, hingga saatnya kau menyadarinya, cinta.

"Selama ini kamu anggap aku apa? kita selalu bersama tapi akhirnya kau malah berikan luka. Memangnya matamu tak terbuka untuk melihat cintaku?  apakah mungkin kamu terlalu asik memberi cinta dan berkata cinta pada orang lain di luar sana. Tapi, mengapa kau justru menjadikanku boneka, padahal selama ini aku yang paling setia, yang selalu ada bersamamu saat kau butuh. Apakah aku tak pernah pantas untuk kau perjuangkan?"

Coba fikir mungkin hanya aku yang selalu ada disampingmu, didekatmu disaat kau terjatuh. Coba fikir mungkin cuma aku yang selalu ada menunggumu, hingga saatnya kau menyadarinya, cinta.

Coba fikir mungkin hanya aku yang selalu ada disampingmu, didekatmu diasaat kau terjatuh. Coba fikir mungkin cuma aku yang selalu ada menunggumu, hingga saatnya kau menyadarinya, cinta.

Mengais Masalalu (Dwitasari)

Kamu selalu mengajariku mengais-ngais masalalu, memaksaku untuk kembali menyentuh kenangan. Terdampar dalam bayang-bayang yang kau gurat secara sengaja. Seakan-akan sosokmu nyata, menjelma menjadi pahlawan kesiangan yang merusak kebahagiaan. Dalam kenangan kau seret aku perlahan, menuju masa yang harusnya aku lupakan. Hingga aku kelelahan, hingga aku sadar bahwa aku sedang di permainkan.

Inikah caramu menyakitiku? Inikah caramu mencabik-cabik perasaanku? apa dengan melihat tangisku itu berarti bahagia buatmu? apa dengan menorehkan luka di hatiku berarti kemenangan bagimu? siapa aku dimatamu? hingga begitu sulit kau lepaskan aku dari jeratanmu. Apakah boneka kecilmu ini dilarang untuk bahagia? Apakah wayang yang sering kau mainkan ini dilarang untuk mencari kebebasan?Mengapa kau selalu perlakukan aku seperti mainan? Kapan kau ajari aku kebebasan? Ajari aku caranya melupakan. Meniadakan segala kecemasan. Maniadakan segala kenangan.

Nyatanya derai air mataku hanya disebabkan olehmu. Ajari aku caranya melupakan. Sehingga aku lupa caranya menangis. Sehingga aku lupa caranya meratap. Karena aku selalu kenal airmata. Aku hanya ingin tertawa, sehingga hati aku mati rasa akan luka.

Selasa, 03 November 2015

gatau apaan.

Pagi ini aku merasakan kecemburuan yang semakin meningkat. Bagaikan gunung Everest yang terletak di Pegunungan Himalaya. Kau begitu dekat dengannya. Bahkan sangat dekat. Aku melihat dengan jelas. Lagi-lagi dia! bukan hanya sekali atau 2 kali. Tapi hal ini sudah sering terjadi.

Sampai kapan aku harus menahan kecemburuan ini? Kecemburuan yang tak pernah di ketahui oleh mu. Hari ini aku benar-benar benci denganmu! muak! Aku semakin muak dengan perasaan ini. Perasaan yang tak pernah engkau mengerti. Perasaan yang tak pernah kau sadari kehadirannya.

Hari ini aku menabrak seseorang. Aku cukup terkejut ketika seseorang itu adalah kamu. Sontak muka ku berubah menjadi malas. Malas melihatmu yang sudah sering kali mengahncurkan perasaanku. Tapi aku tetap melontarkan kata 'maaf' itu. Lalu pergi meninggalkanmu. Entah ini hanya perasaanku saja atau tidak. Tapi aku merasa mukamu juga berubah. Entah heran dengan sikapku yang seperti ini, atau kamu merasa kecewa karena aku bersifat seperti ini. Tapi jujur aku sangat lelah, sangat sangat sangat lelah. Aku lelah dengan sifat ramahku terhadapmu yang kau tanggapi dengan sifat dinginmu itu.

Bolehkan aku bersifat ini kepadamu? aku akan tetap seperti ini sampai kamu bisa mengerti perasaanku. Faham dengan perasaanku. Aku tahu ini permintaan yang konyol. Dan bahkan kamu juga tidak akan melakukannya. Membaca tulisan ini saja belum tentu terjadi. Lalu untuk apa aku berharap kamu akan seperti itu nantinya. Harapan yang hanya membuang waktuku.